Setelah dunia dibanjiri lautan, air mata sudah tidak ada artinya lagi. Maju-Mundur-maju-mundur. Deburan ombak yang membawa kayu dan perabotan terapung-apung. Seolah lautan mempermainkan umat manusia dengan satu tarikan tsunami yang melindas jalan-jalan. Seperti yang sudah terjadi.

Seorang perempuan berdiri di tepi tanjung. Melihat permukaan air dengan Gaun merah yang terakhir kali ia pakai, masih bisa menutupi beberapa bagian tubuh walau basah kuyup itu belum kering sepenuhnya. Sementara Ia tatap gerakan laut dengan nafas terengah-engah setelah percobaan ke tiga menenggelamkan dirinya gagal lagi.

Perempuan itu seolah ditakdirkan untuk melihat batas lautan yang tak terkira. Dan memang tak ada yang menyangka bila es di kutub benar-benar mencair, sekecil inilah daratan yang masih tersisa. Barangkali sekarang ia berencana untuk mengakhiri hidupnya lagi. Sederhana dengan cara yang masih ia pikirkan.

“Apakah ini hukuman yang harus kuterima.” Perempuan itu sangat ingin menyusul teman-teman sekumpulannya di surga.

“Menjalani hidup di dunia yang sempit.” Kesalnya dengan bisik-bisik kecil, lantas ia melamun kembali.

Namun di tengah-tengah ia sedang melamun dan memikirkan nasib buruk yang sudah menimpanya. Sebuah tabung kecil yang mengkilap disinari cahaya matahari terlihat mengapung dibilas ombak. Kapsul yang tertutup tanpa celah itu tak memiliki pintu, hanya sebesar bongkahan logam seperti bom atom yang belum diledakkan.

Ia terus memandanginya, nampak begitu besar ketika ia meneropongnya dengan telapak tangan. Dan beberapa saat lagi, kapsul itu benar-benar berhenti bergerak. Dihentikan oleh pasir di tepian.

Sempat berulang kali ia menyipitkan mata, nampak serius melihat benda asing yang tiba-tiba terdampar di hadapannya. Namun ia tak memiliki ketakutan, sebab ia ingin mati dengan segera. Tanpa rencana panjang, perempuan itu menapaki pasir-pasir. Meninggalkan jejak-jejak menuju kapsul yang terlihat mampu meledakkan isi daratan yang tersisa itu.

Ujung-ujung jarinya yang masih keriput dan basah mulai menyentuh kapsul, mencari dimana letak tombol-tombol, harapnya jika ada. Dan sebuah tombol merah yang membuat ia tersenyum gembira terletak di samping kanan kapsul tersebut. Lantas matanya berbinar-binar, “inilah waktunya.”

Saat hitungan ketiga yang ia ucapkan dari dalam hatinya, ia mulai menekan tombol merah itu. Matanya terpejam dan berharap ia telah berada di dunia lain setelah membuka matanya kembali.

Namun nampaknya sentuhan pertama yang ia berikan tak memberikan reaksi apapun. Perempuan itu pun kembali memastikan untuk kedua kali, menekan tombol merah berulang kali dan memejamkan mata. Dan sama sekali tak ada yang berubah setiap kali ia membuka mata. Deburan ombak yang sama. Tak ada ledakan yang terjadi.

Setelah beberapa kali ia coba meledakkan kapsul itu dengan usahanya, ia mulai sedikit menyerah. Mungkin kapsul ini memang tak bisa meledakkan sesuatu, hanya sisa-sisa potongan besi yang terbawa ombak ke daratan yang tersisa. Yang tak berarti apa-apa.

Lantas ia membelakangi benda aneh itu, mencari cara lain untuk mengakhiri hidupnya. Dengan panjang ia menghela nafasnya. Perempuan itu kembali menatap langit. Sekian detik demi detik, matahari mulai turun. Ikut tenggelam bersama lautan.